Kurangnya sifat qana’ah dalam diri
seorang muslim muncul dari tidak mantapnya iman seseorang. Tidak bisanya
seseorang ridha terhadap qadar di kala susah dan senang menjadi penyebab
utamanya. Karena itulah, termasuk do’a beliau sallallahu alaihi wasallam :
…
وَأَسْأَلُكَ نَعِيْمًا لاَيَنْفَدُ
وَقُرَّةَ عَيْنٍ لاَتَنْقَطِعُ وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بِالْقَضَاءِ
“…dan aku memohon kepada-Mu
kenikmatan yang tidak pernah pudar, kesejukan mata yang tidak pernah terputus,
dan aku memohon kepada-Mu keridhaan terhadap qadha`.” [ Shahih Sunan an-Nasa`i,
kitab sahwi, bab ke-62, no. 1238 ].
Dan di dalam do’a Istikharah:
وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ
كَانَ ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ
“…dan tentukan (taqdirkanlah)
kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaan-Mu
kepadaku.” [ Shahih al-Bukhari, kitab tauhid, bab ke-10, no. 7390 ].
Pondasi yang utama dan pertama untuk
menumbuhkan sifat ini adalah keyakinan yang benar. Keimanan kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala, mengenal Allah dengan nama dan sifat-sifat-Nya berikut
keagungan dan keindahan yang dikandungnya. Disamping itu juga memiliki keimanan
yang mantap kepada hari akhir, keyakinan yang benar tentang takdir baik dan
buruk. Semua itu merupakan landasan utama untuk menumbuhkan sifat dan karakter
mental qona’ah.
Keimanan dan pengetahuan seorang
mukmin terhadap Allah beserta nama dan sifatnya; akan menjadikan dirinya
merenungkan firman, perintah dan penjelasan-Nya. Hasilnya, ia akan memahami
hakikat dunia, hakikat dirinya, dan hakikat qona’ah beserta manfaatnya di dunia
dan akhirat.
Keimanan kepada hari akhir akan
mendorong seorang mukmin untuk memiliki sikap zuhud terhadap dunia.
Pemikirannya selalu tertuju kepada hari akhir dan seluruh rangkaiannya,
terutama ketika amal-amal kita dihisab. Dengan bekal ini ia paham, bahwa hidup
dunia hanyalah sementara. Sebagaimana yang ia pelajari dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sabdanya, “Apa perluku dengan dunia?
Perumpamaanku dengan dunia hanyalah ibarat pengendara yang tidur siang sejenak
di bawah naungan sebuah pohon, kemudian berangkat di sore hari dan
meninggalkannya.” (HR.Ahmad dan Tirmidzi). Hal ini akan menjadikannya bersikap
menerima apapun yang terjadi dengan senang hati.
Keimanan terhadap takdir yang baik
maupun buruk akan memberikan sikap tenang dan ridho terhadap apa yang dialami,
baik suka maupun duka. Hatinya senantiasa lapang, ia tidak mengenal kata gundah
dengan sedikitnya rizki, lemahnya daya, maupun kemiskinan yang menimpanya.
Rasulullah sallallahu alaihi
wasallam memberikan buah keimanan ini dalam hadis beliau ;
عَجَبًا لأَمْرِ المؤمنِ إِنَّ أمْرَه
كُلَّهُ لهُ خَيرٌ ليسَ ذلكَ لأَحَدٍ إلا للمُؤْمنِ إِنْ أصَابتهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فكانتْ خَيرًا لهُ وإنْ أصَابتهُ ضَرَّاءُ صَبرَ فكانتْ خَيرًا لهُ
Artinya: “Sungguh menakjubkan urusan
orang beriman! Sesungmua urusannya baik. Dan yang demikian tidak dapat
dirasakan oleh siapapun selain orang beriman. Jika ia memperoleh kebahagiaan,
maka ia bersyukur. Bersyukur itu baik baginya. Dan jika ia ditimpa mudharat,
maka ia bersabar. Dan bersabar itu baik baginya.” (HR Muslim 5318).
Artinya bahwa sabar dalam kesempitan
dengan usaha untuk memiliki sifat qona’ah tidak akan didapatkan seseorang
kecuali dengan pemahan tauhid yang baik. Karena qona’ah adalah buah iman.
Tips mendapatkan sifat qona’ah
Ada beberapa hal yang akan membantu
seseorang untuk memiliki sifat qona’ah. Yaitu karakter untuk menerima apa yang
telah Allah berikan berupa nikmat sedikit ataupun banyak. Diantara cara untuk
mendapatkannya adalah ;
Pertama; Memiliki ilmu agama yang
memadai.
Ilmu agama merupakan faktor utama untuk memperoleh harta yang tidak terkira
ini. Dengan ilmu, kita mengetahui hakikat, manfaat, dan bahaya jika melalaikan
qona’ah. Ilmu agama menjelaskan kepada kita hakikat dunia, menyingkap
rahasia-rahasianya, dan bahaya-bahaya terlalu berorientasi kepadanya. Ilmu
agama akan mendorong kita untuk mencintai dan mengerahkan seluruh perhatian
kita kepada kampung akhirat, kehidupan yang kekal dan abadi.
“Dan tiadalah kehidupan di dunia ini
selain main-main dan sendau gurau. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik
bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu memahaminya? (QS. Al-An’am:32)
Dengan ilmu pula kita memperoleh
pengetahuan tentang Allah Azza wa ‘Ala dan seluruh nama-Nya yang baik dan
sifat-Nya yang tinggi. Kebenaran akidah: iman kepada hari akhir dan iman kepada
takdir baik maupun buruk, semua itu merupakan pondasi dasar yang memiliki
pengaruh besar dalam mewujudkan sifat qona’ah. Semua ini hanya dapat diperoleh
dengan ilmu agama.
Kedua : Pemahaman yang benar tentang
qodho dan qodar.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membagi-bagi rizki dan keadaan hidup seluruh
manusia sejak zaman azali sesuai takdir yang telah ditetapkan-Nya. Pembagian
yang dilakukan merupakan ketetapan berdasarkan kebijaksanaan dan ilmu-Nya. Maka
kita harus memahami bahwa ambisi, keluh kesah, dan perhatian kita terhadap
dunia, tidak akan menambah rizki kita yang telah ditetapkan. Karena tidak
mungkin kita bisa mengoreksi ketetapan taqdir dan qodar Allah. Pemahaman
terhadap takdir ini harus benar dan sesuai ilmu yang syar’i. Karena hanya
dengan pemahaman yang mantap dan benar terhadap makna taqdir maka kita dapat
menumbuhkan sifat qona’ah, tenang, rileks, terlepas apakah kita kaya maupun
miskin.
Sikap ridho seorang mukmin dalam
menghadapi ketetapan qodha dan qodar Allah akan memberikan kepadanya mata yang
jeli dalam melihat kondisi kehidupan dan hakikat pembagiannya. Yang menetapkan
rizkinya adalah Allah. Allah juga yang telah membeda-bedakan tingkat rizki,
melebihkan yang satu terhadap yang lainnya. Perbedaan ini merupakan ujian bagi
kita. Ujian bagi orang kaya dengan kelebihannya. Ujian bagi orang miskin dengan
kekurangannya. Perbedaan antara orang kaya dengan orang miskin dalam rizki
bukan merupakan bukti perbedaan kedudukan keduanya di dunia maupun di sisi
Allah Azza wa Jalla.
“Apakah mereka yang membagi-bagi
rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam
kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang
lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang
lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Az
Zukhruf:32)
“Bersikaplah ridho terhadap apa yang
dibagikan oleh Allah, niscaya kamu menjadi manusia yang paling kaya.”
(HR.Ahmad).
Ketiga : Perjuangan Mental dan
Bersabar.
Sesuai dengan kebijaksanan-Nya, Allah Ta’ala telah memberi kita nafsu yang
senantiasa menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat Tuhan.
Salah satu bentuk keliaran nafsu adalah permusuhannya terhadap sikap qona’ah.
Selama kita tidak melawan nafsu, ketika itu kita telah membuka pintu-pintu
ambisi, ketamakan, kerakusan, kekikiran, dan keluh kesah.
“Jauhilah sifat syuhh, karena sifat
syuhh telah membinasakan orang-orang sebelummu, mendorong mereka untuk
menumpahkan darah mereka dan melanggar hal-hal yang diharamkan bagi mereka.”
(HR.Muslim).
Imam Ibnu Rojab al Hanbali
rahimahullah menjelaskan bahwa syuhh adalah ambisi besar yang mendorong
pemilikinya mengambil banyak hal yang tidak halal, tidak menunaikan kewajiban
terhadapnya. Substansi sifat ini adalah senang terhadap apa yang diharamkan
Allah serta tidak puas dengan yang telah dihalalkan oelh Alloh, baik menyangkut
harta, kemaluan, atau lainnya.
Mengendalikan nafsu dan memaksanya
memiliki sikap qona’ah membutuhkan kesabaran dan ketabahan dari seorang mukmin.
Kesabaran ini berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang
meragukan. Karena sifat qona’ah menuntut sikap zuhud (merendahkan diri), ridho
(menerima), dan waro’ (hati-hati). Sabar dalam ketaatan dan tidak berbuat
maksiat.
Keempat : Berdoa dan Memohon kepada
Allah.
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ
الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu
petunjuk, ketakwaan, sikap menjaga martabat, dan kekayaan.” (HR.Muslim).
Syaikh Abdurrahman Nashir As-Sa’di
rahimahullah, berkata: ”Ini merupakan salah satu doa yang paling luas cakupan
maknanya dan paling bermanfaat. Doa ini mengandung permohonan agar dikarunia
kebaikan di dunia dan akhirat. ‘Afaf (sikap menjaga martabat) dan ghina
(kekayaan) mengandung arti menjaga kehormatan di hadapan sesama manusia, tidak
menggantungkan diri kepada mereka dan merasa kaya dengan Alloh, rizki-Nya,
sikap menerima dengan senang hati terhadap apa yang ada pada dirinya, serta
diperolehnya kecukupan yang bisa menenangkan hati. Dengan semua itu,
sempurnalah kebahagiaan hidup di dunia dan ketenangan batin, dan itulah hayah
thoyyibah (kehidupan yang baik).
Kelima : Melihat yang di bawah dalam
hal keduniaan
Manusia, memiliki watak dasar yang mendorongnya utnuk mencintai harta dan
dunia. Terkadang hal ini menjadikan kita melupakan nikmat-nikmat yang telah
Allah berikan kepada kita. Bagaimanapun keadaannya, setiap kita pasti telah
dikaruniai nikmat Allah yang tidak mampu kita inventarisir dan hitung. Bukan
hanya telah, tapi semua yang telah dan akan kita alami adalah nikmat dan karunia
Allah yang terkira.
Namun, nikmat dan karunia yang telah Allah berikan secara gratis kepada kita, terkadang terabaikan. Kita merasa kurang dan kurang… kita tidak peduli dan tidak menyadari nilainya… Hal ini bisa jadi karena kita selalu melihat orang-orang yang mendapat nikmat lebih baik dari kita.
Namun, nikmat dan karunia yang telah Allah berikan secara gratis kepada kita, terkadang terabaikan. Kita merasa kurang dan kurang… kita tidak peduli dan tidak menyadari nilainya… Hal ini bisa jadi karena kita selalu melihat orang-orang yang mendapat nikmat lebih baik dari kita.
Seandainya kita melihat orang-orang
yang tidak seberuntung kita, orang-orang yang ada “dibawah” kita… atau satu
atau beberapa nikmat dari Allah dicabut (misal: nikmat sehat)… baru kita
merasakan nikmat-nikmat itu… barulah kita merasa tenang. Karena itu; salah satu
faktor yang mendorong tumbuhnya sifat qona’ah adalah melihat orang yang
keadaannya “dibawah” kita.
إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ
فُضِّلَ عَلَيْهِ فِى الْمَالِ وَالْخَلْقِ ، فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ
أَسْفَلَ مِنْهُ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Lihatlah kepada siapa yang lebih rendah dari kalian, jangan
melihat kepada siapa yang lebih tinggi dari kalian; karena itu akan menjadikan
kalian tidak menyepelekan nikmat Allah.” (HR.Bukhori).
Inilah beberapa cara untuk
menumbuhkan sifat qona’ah dan menerima dengan senang hati rizki dan penghidupan
yang telah dibagikan Allah. Semoga Allah senantiasa menghiasi diri, keluarga,
dan keturunan kita; serta kaum muslimin dengan sifat qona’ah. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar