Harta yang halal hanya didapatkan
dengan perasaan qona’ah. Yaitu perasaan cukup dengan pemberian Allah meskipun
sedikit. Hal inilah yang menjaganya untuk mencari harta dengan jalan yang
diharamkan. Dan tidaklah seorang hamba deberikan sesuatu yang lebih mulia lebih
dibandingkan qona’ah. Ialah yang akan menjadikan seorang hamba senantiasa kaya
walau berpenghasilan sedikit ataupun banyak. Hatinya selalu ridha dengan
pemberian Allah sehingga melahirkan perasaan senang, tenang, mulia dan
perasaan-perasaan lain.
Pengaruh harta halal
Pengaruh harta halal
Harta halal akan melahirkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia akan merasakan
berbagai kenikmatan di dunia berupa ketenangan, kedamaian dan yang lainnya
sebelum nantinya menikmati indahnya jannah. Kenikmatan dunia dan akhirat
tersebut kita ringkas dengan beberapa diantaranya ;
Pengaruh pertama : Mewariskan Amal
Shaleh. Rizki yang halal adalah bekal dan sekaligus pembangkit semangat amal
shaleh.
Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ
وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Mukminun: 51)
Ibnu Katsir menyatakan: “Allah
Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimussalaam agar makan
makanan halal, dan beramal shaleh. Disandingkannya dua perintah ini
mengisyaratkan bahwa makanan halal adalah pembangkit amal shaleh. Dan sungguh
mereka benar-benar telah mentaati kedua perintah ini.” (Tafsir Ibnu Katsir
5/477, baca juga: Adwaa’ul Bayan 5/339)
Apakah selama ini kita merasakan
malas, dan berat untuk beramal?. Alangkah baiknya bila kita koreksi kembali
makanan dan minuman kita. Jangan-jangan ada yang perlu ditinjau ulang.
Abu Sa’id Al Khudri mengisahkan:
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar lalu
beliau berkhutbah:
“Sesungguhnya yang paling aku
takutkan atas kalian ialah keberkahan bumi yang akan Allah keluarkan untuk kalian.”
Sebagian sahabat bertanya: “Apakah keberkahan bumi itu?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Perhiasan kehidupan dunia.” Selanjutnya seorang
sahabat kembali bertanya: “Apakah kebaikan (perhiasan dunia) itu dapat
mendatangkan kejelekan?”
Mendengar pertanyaan itu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi terdiam, sampai-sampai kami mengira bahwa
beliau sedang menerima wahyu. Selanjutnya beliau menyeka peluh dari dahinya,
lalu bersabda: “Manakah penanya tadi?”
Sahabat penanyapun menyahut: “Inilah
aku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
“Kebaikan itu tidaklah membuahkan/mendatangkan kecuali kebaikan. Sesungguhnya
harta benda ini nampak hijau (indah) nan manis (menggiurkan). Sungguh
perumpamaannya bagaikan rerumputan yang tumbuh di musim semi. Betapa banyak
rerumputan yang tumbuh di musin semi menyebabkan binatang ternak mati
kekenyangan hingga perutnya bengkak dan akhirnya mati atau hampir mati. Kecuali
binatang yang memakan rumput hijau, ia makan hingga ketika perutnya telah
penuh, ia segera menghadap ke arah matahari, lalu memamahnya kembali, kemudian
ia berhasil membuang kotorannya dengan mudah dan juga kencing. Untuk
selanjutnya kembali makan, demikianlah seterusnya. Dan sesungguhnya harta benda
ini terasa manis, barang siapa yang mengambilnya dengan cara yang benar dan
membelanjakannya dengan benar pula, maka ia adalah sebaik-baik bekal. Sedangkan
barang siapa yang mengumpulkannya dengan cara yang tidak benar, maka ia
bagaikan binatang yang makan rerumputan akan tetapi ia tidak pernah merasa
kenyang, (hingga akhirnya iapun celaka karenanya).” (Muttafaqun ‘alaih)
Pada riwayat Imam Muslim, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْخَيْرَ لاَ يَأْتِى إِلاَّ
بِخَيْرٍ أَو خَيْرٌ هُوَ
“Sesungguhnya kebaikan yang
sebenarnya tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan, apakah harta benda itu
benar-benar kebaikan?”
Sedangkan orang yang mengumpulkan
harta kekayaan dengan cara yang tidak benar, melebihi keperluannya, dari jalan
haram dan ia tidak membelanjakannya di jalan yang diridhai Allah, maka
perumpamannya bagaikan orang yang makan akan tetapi tidak pernah merasa
kenyang. Akibatnya ia ditimpa penyakit berbahaya dan terjerumus kebinasaan.
Bagaikan binatang yang tidak pernah kenyang, atau orang sakit yang senantiasa
kehausan, setiap kali ia minum, ia semakin bertambah haus, akibatnya
perutnyapun semakin bengkak. Dan kelak pada hari kiamat, harta bendanya itu
akan menjadi saksi atas ketamakannya, dan perilakunya yang senantiasa
membelanjakan harta benda pada jalan-jalan yang dimurkai Allah. (Fathul Bari
11/246-249 & Syarah Muslim oleh Imam An Nawawi 7/141-144.)
Demikianlah perbandingan antara
kehidupan manusia yang menjadikan harta kekayaan sebagai sarana penunjang bagi
peribadahannya kepada Allah, dengan mereka yang menjadikan harta kekayaan
sebagai pujaannya.
Manfaat Kedua: Menjadi Penyebab
Diterimanya Amalan.
Rizki halal, bukan hanya menjadi
pembangkit semangat untuk beramal shaleh. Rizki halal juga menjadi penentu
diteri atau tidaknya amalan kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebutkan seorang lelaki yang berpergian jauh, hingga penampilannya
menjadi kusut dan lalu ia menengadahkan kedua tangannya ke langit sambil
berkata: ‘Ya Rab, Ya Rab,’ sedangkan makanannya haram, minumannya haram,
pakaiannya haram, dan dahulu ia diberi makan dari makanan yang haram, maka mana
mungkin permohonannya dikabulkan.” (Riwayat Muslim)
Ibnu Rajab menjelaskan hadits ini
dengan berkata: Pada hadits ini terdapat isyarat bahwa suatu amalan tidak
diterima dan tidak berkembang kecuali dengan makanan halal. Dan sesungguhnya
memakan makanan haram dapat merusak dan menjadikan amalan tidak diterima.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seusai bersabda: “Sesungguhnya
Allah itu baik, sehingga tidaklah akan menerima kecuali yang baik pula.” Beliau
melanjutkannya dengan ucapan: “Sesungghnya Allah telah memerintahkan kaum
mukminin dengan perintah yang telah Ia tujukan kepada para rasul. Allah
berfirman:
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ
الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari
makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Mukminun: 51)
Dan Allah juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
makanlah dari rizki-rizki baik yang telah Kami karuniakan kepadamu.” Dengan
demikian yang dimaksud dari sabda beliau ini ialah: Bahwa seluruh rasul dan
umatnya diperintahkan agar senantiasa memakan makanan yang baik yaitu yang
halal, dan juga agar beramal shaleh. Sehingga selama makanannya halal, maka
amal shalehnyapun akan diterima. Dan bila makannya tidak halal, maka bagaimana
mungkin amalannya dapat diterima?” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Syarah hadits
ke-10)
Manfaat Ketiga: Pencegah dan Penawar
Berbagai Penyakit.
Marilah kita amati dan cermati
berbagai penyakit yang diderita masyarakat. Berbagai tindakan preventif dan
upaya pencegahan dan pengobatan telah ditempuh, akan tetapi penyakit seakan tak
kenal gentar. Dari hari ke hari jumlah penderita penyakit terus bertambah, dan
jenis penyakitpun juga berlipat ganda, dan silih berganti. Tidakkah keadaan ini
menarik perhatian kita?. Tidakkah fenomena pilu ini mengusik perhatian kita,
untuk kemudian mencari penyebab dan solusinya?.
Bila kita kembali kepada syari’at,
niscaya dengan mudah kita menemukan jawaban dan solusinya. Berbagai penyakit
dan wabah yang melanda adalah sebagian dari akibat perbuatan dosa umat manusia
yang semakin hari semakin merajalela dan berlipat ganda. Dan diantara
kemaksiatan yang telah mendarah daging di masyarakat ialah memakan makanan
haram. Hampir-hampir keperdulian masyarakat kita terhadap kehalalan makanannya
telah sirna. Kebanyakan dari kita hanya mengejar rasa enak dan nilai
ekonomisnya.
Bila kita mulai merasa jenuh dan
terusik dengan berbagai penyakit dan mahalnya biaya pengobatan yang sering kali
tidak mendatangkan manfaat, maka kembalilah kepada syari’at agama kita.
Hendaknya kita bersikap selektif terhadap makanan dan minuman yang kita
konsumsi, Dengan demikian kita akan terhidar dari berbagai penyakit dan dapat
menanggulangi derita penyakit yang terlanjur menimpa kita.
Pada suatu hari sahabat Ali bin Abi
Thalib radhiallahu ‘anhu memberikan petuah kepada kita. Beliau berkata:
“Bila engkau menginginkan kesembuhan
dari penyakit, hendaknya ia menuliskan satu ayat dari Al Qur’an pada piring,
lalu hendaknya ia membasuh tulisan ayat itu dengan air hujan. Seterusnya
hendaknya ia meminta uang satu dirham (sejumlah uang) dari istrinya dengan
syarat ia benar-benar rela memberikannya guna membeli madu, lalu minumlah,
karena itu (campuran air basuhan dan madu yang dibeli dengan uang itu) adalah
obat yang manjur.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya, dan sanadnya
oleh Ibnu Hajar dinyatakan hasan Fathul Bari 10/170)
Kebanyakan wabah penyakit, petaka,
dan bencana yang menimpa umat manusia zaman sekarang ini, adalah akibat dari
harta haram dan ambisi manusia mengeruk harta kekayaan dengan segala cara.
Banyak dari pengusaha, badan usaha, bahkan pemerintahan yang tidak mempedulikan
halal-haram dalam usaha-usahanya. Apapun barangnya asalkan mendatangkan keuntungan
maka akan mereka perniagaan. Dengan cara apapun, asalkan menguntungkan dirinya,
maka ia pasti menempuhnya. Bila tidak bisa mengambilnya dengan tangan sendiri,
maka ia akan menyewa tangan orang lain guna mengambilnya.
Demikianlah pengaruh harta yang
halal bagi muslim. Tentu seseorang yang ingin mendapatkan harta yang halal
melakukan dua hal. Pertama; belajar tentang yang halal dan haram. Jika ia tidak
mengetahui hendaklah mencari guru untuk belajar kepadanya. Kedua; setelah
mengetahui, ia wajib untuk menghindari jalan-jalan yang haram dalam mencari
rizki. Semoga kita senantiasa di dibimbing Allah Ta’ala dalam mendapatkan harta
yang halal, dan memberkahi keluarga kita dengan harta tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar