Selang beberapa hari kedepan,
sebagian besar orang di berbagai belahan dunia akan kembali menyelenggarakan event
tahunan yang biasa digelar secara kolosal. Na'am, acara ini biasa
disebut dengan tahun-baruan. Entah sudah kali keberapa kegiatan ini juga
mewarnai aktivitas orang Indonesia di setiap akhir penghujung tahunnya. Yang
jelas, ia tak pernah absen untuk membawa sekian risalah di setiap kehadirannya.
Tak jelas kapan budaya ini masuk ke Indonesia, tapi yang
pasti ia selalu dijaga keeksisannya. Ia nampak seperti sesuatu yang
ditunggu-tunggu, yang serasa menjadi ketidak-afdholan bila dibiarkan tanpa
dirayakan. Kesibukan pun kemudian akan tampak menghinggapi berbagai kalangan,
mulai dari manusia di tingkat kota-kota besar hingga menyeruak ke
kampung-kampung pinggiran, dari golongan bermodal besar hingga ke kalangan ecek-ecek—semua
tampak mulai berkemas-kemas menyambut tahun-baruan ini. Tak terkecuali para
pelaku pasar yang telah jauh-jauh hari mempersiapkan dagangannya guna
memanfaatkan momen yang hanya setahun sekali ini. Ada dari mereka yang
menciptakan pernak-pernik yang biasa menjadi kebutuhan untuk event ini,
seperti terompet beraneka jenis, atau kembang api dan petasan dengan bermacam
ukuran. Di bidang lain, sejumlah besar fasilitas umum seperti pusat
perbelanjaan dan perhotelan, masing-masing berlomba dalam merebut konsumen
dengan menjajakan diskon dan kupon yang menggiurkan serta penawaran keuntungan
lainnya. Belum lagi tempat-tempat hiburan yang semangat menjaring calon
pengunjungnya di musim liburan ini dengan menjanjikan keceriaan dan
kemeriahannya di detik-detik pergantian tahun. Pokoknya semua tampak satu-padu…
Namun masalahnya, beginikah cerminan umat Islam yang (masih)
selalu ikut-ikutan dalam budaya yang tidak dikenal dalam dien yang haq
ini?
Berikut beberapa hal yang seharusnya kita fahami sebagai
seorang muslim dalam kaitannya dengan risalah ini:
1.
Budaya tahun-baruan, bukan budaya Islam
Perkara ini sebenarnya sudah jelas bahwa tahun-baruan adalah
hasil transfer kebiasaan bangsa lain yang tidak berkiblat kepada Islam. Oleh
sebab itu, budaya ini menjadi keharaman untuk dikerjakan dan diterapkan dalam
kehidupan seorang muslim. Konon, bangsa Persi kuno lah yang telah melakukan
aktivitas ini pada masa kejayaannya. Ia merupakan sebuah ritual yang
dikhususkan untuk mengagungkan dewa api. Mereka yang merupakan kaum Majusi,
yaitu yang menganggap api sesuatu yang memiliki kekuatan sehingga karena
kepercayaan itulah mereka menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari penobatan
raja baru mereka yaitu yang dipersangkakan sebagai hari terciptanya api. Dalam
perayaan ini, sepanjang malam mereka berpesta, menyalakan bunga-bunga api,
mengkonsumsi minuman keras, dan turun ke jalan-jalan. Bukankah gambaran
tersebut merupakan kesamaan dengan yang terjadi pada masa-masa sekarang ini?
Sepatutnya seorang muslim menghindari aktivitas ini karena ia merupakan
salah-satu bentuk dari kemaksiatan yang akan mendatangkan kemurkaan Allah
Ta'ala. Seorang muslim yang bertauhid akan selalu berusaha menjaga marka-marka
syari'at yang akan menghindarinya dari ancaman kefasikan. Ia akan menjaga
kemuliaan dien Islam dan inilah salah-satu sifatnya orang yang beriman.
Allah
Ta'ala berfirman,
Artinya,
"…Allah menjadikan kamu cinta akan keimanan dan menjadikan (iman) itu
indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan,
dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus." (QS. al-Hujurat, 49:7)
Event
tahun-baruan juga termasuk hari raya umat lain, sehingga hari tersebut bukanlah
hari yang pantas dirayakan oleh umat Islam. Namun akhir-akhir ini perhelatan akbar
ini pun kemudian dialihkan beberapa ustadz yang menyikapi berbondong-bondongnya
kaum muslimin yang ikut dalam rutinitas perayaan tahun baru Masehi di setiap
tahunnya, dengan menggantikan posisi kemeriahan tahun baru Masehi kepada
aktivitas do'a dan dzikir akbar. Lalu tersusunlah program yang ditujukan untuk
menyelisihi apa-apa yang ada di dalam perayaan tahun baru Masehi tersebut. Tak
nampaklah jua bahwa bentuk 'penyelisihan' seperti itu adalah juga bentuk lain
dari tasyabbuh yang dilarang Rasulullah. Ibnu Umar ra
menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ.
Artinya,
"Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari
kaum tersebut." (HR. Ahmad)
Dalam Iqtidha Sirathiil-Mustaqim, Mukhalafatu Ashabil-Jahim,
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah berkata, "Perbuatan
meniru-niru mereka (umat kafir) dalam perayaan mereka dapat menyebabkan
seseorang bangga dengan kebathilan yang ada pada mereka. Bisa jadi hal tersebut
akan lebih memotivasi mereka (umat kafir) untuk memanfaatkan momen tersebut
(dalam menyia'arkan kesesatannya)."
Selain
itu, Rasulullah saw pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ قَدْ أَبدلَكُمْ بِهِمَا
يَوْمَ الأَضْحَى وَ يَوْمَ الْفِطْر.
Artinya,
"Sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari raya tersebut dengan dua
hari raya yang lebih baik yaitu Idul Adha dan Idul Fitri." (HR. Abu
Dawud)
2. Tabdzir
dilarang oleh syari'at
Sebagaimana sifat dari sebuah pesta dan kemeriahan adalah
adanya pengadaan fasilitas penunjang yang menuntut pula adanya ketersediaan
materi. Pemenuhan kebutuhan tersebut tentu saja bernilai sia-sia dikarenakan
event ini tak ada tuntunannya dalam syari'at Islam. Sementara Allah Ta'ala
mengharamkan segala bentuk penyia-nyiaan, baik penyia-nyiaan dalam bentuk
peribadahan seperti praktek kebid'ahan, maupun penyia-nyiaan dalam bentuk harta
dan waktu. Allah Ta'ala telah mengingatkan manusia tentang salah-satu sifat
buruk yang dibencinya yaitu sifat boros,
Artinya,
"…dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros.
Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu
sangatlah ingkar kepada Tuhannya."" (QS. al-Isra', 17:26-27)
Tasyabbuh
perayaan tahun-baruan juga jelas menjadi sifat penyia-nyiaan kesempatan beribadahnya
seorang muslim kepada peribadahan yang diperintahkan Allah Ta'ala atau kepada
sunnah-sunnah yang Rasul-Nya contohkan. Sementara beliau saw telah bersabda,
فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ
اللهِ وَ خَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مًحَمَّدٍ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ
شَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَ كُلَّ مُحْدَثَةٍبِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ وَ كُلَّ ضَلَالَةٍ فِيْ النَّارِ.
Artinya,
"Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah, sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw, sejelek-jelek perkara adalah perkara
yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan setiap bid'ah
itu sesat, dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR.
Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah)
Tidaklah ada perkara yang tidak atau belum beliau saw
sampaikan kepada umatnya, termasuk perkara ini. Ibnu Mas'ud ra meriwayatkan
bahwa Rasulullah pernah menyampaikan sebuah sabdanya,
لَيْسَ مِنْ
عَمَلٍ
يُقَرِّبُ مِنَ
الْجَنَّةِ إِلاَّ
وَ
قَدْ
أَمَرْتُكُمْ بِهِ,
وَ
لاَ
عَمَلٍ
يُقَرِّبُ مِنَ
النَّارِ إِلاَّ
وَ
قَدْ
نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ.
Artinya,
"Tidak ada dari sesuatu amalan yang mendekatkan ke surga, kecuali telah
aku perintahkan kepada kamu dengannya dan tidak ada dari sesuatu amalan yang
mendekatkan ke neraka, kecuali pasti telah aku cegah kamu darinya. " (HR.
Imam Al-Hakim)
Kegiatan perhelatan tahunan seperti ini sudah memiliki
kejelasan tentang keharamannya berdasar sabda Rasulullah serta tidak adanya
perilaku beliau saw yang pernah beliau saw tunjukkan semasa hidupnya, tidak
pula oleh para sahabatnya dan oleh orang-orang yang mengikutinya kemudian dari
kalangan para sholafush sholih. Barangsiapa yang tetap berpegang-teguh
berkiblat pada aktifitas di luar Islam ini, maka ia telah mengekor pada
kebiasaan dan tradisi adat jahiliyyah. Bukankah sudah diketahui bahwa asal-usul
perayaan ini adalah upaya bangsa musyrik Persi kuno pada masa
berkuasanya raja Nairuz dalam pengagungannya kepada dewa api, sedangkan
Ibnu Umar ra dahulu pernah menyampaikan bahwa Rasulullah bersabda,
مَنْ تَثَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ
مِنْهُمْ.
Artinya,
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan
mereka." (HR. Abu Dawud)
Semoga
kita tidak termasuk golongan yang mendapat ancaman kemurkaan dari Allah Tabaraka
wa Ta'ala.
3.
Waktu tidak berulang
Semangat yang tergambar jelas dari penyongsongan event
tahun-baruan ini begitu sangat terasa. Ditandai dengan hilir-mudiknya
orang-orang dalam mempersiapkan datangnya hari pergantian tahun Masehi,
khususnya dalam mengisi waktu libur dengan jadwal-jadwal perpelancongan ke
berbagai tempat, baik yang ada di daerah mereka maupun tempat-tempat
persinggahan di negeri-negeri lain. Semua dilakoni dengan begitu bersemangat
demi tercapainya tujuan: meraih kepuasan dan kesenangan dunia.
Ini tentu semangat yang keliru, karena dengan
begitu—otomatis waktu dan kesempatannya untuk beribadah dan bermuhasabah
kepada-Nya menjadi terbengkalai. Padahal tidaklah Dia memperpanjang nafas
seorang muslim selain untuk beribadah kepada-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan agar mereka beribadah
kepada-Ku." (QS.adz-Zariyat, 51:56 )
Na'am, aktifitas
seorang muslim yang sesungguhnya adalah berkutat dengan peribadahan kepada Rabb-nya,
apakah peribadahan itu berbentuk sholat, shaum, shodaqoh, mencari ma'isyah,
beramar ma'ruf-nahyi munkar, tholabul ilmu, maupun berdzikir dan bermuhasabah.
Semua hal tak lepas dari mengibadahi-Nya semata, saling sambung-menyambung,
berkaitan, dan berketerusan. Tidak diridhoi-Nya perkara apapun yang menyebabkan
seorang manusia terlalai dari tugasnya beribadah atau berpaling kepada prilaku
menghambur-hamburkan waktu yang telah dikaruniakan-Nya. Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Maka apabila engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah
bekerja-keras (untuk urusan yang lain)." (QS. an-Nashr, 94:7)
Lalu
bagaimana dengan aktifitas muhasabah yang dikhususkan pada momen-momen
tertentu seperti pada event tahun-baruan yang belakangan mulai sering
dilaungkan?
Pada
dasarnya muhasabah memang diperintahkan Allah Ta'ala kepada setiap
hamba-Nya seperti yang Dia maktubkan dalam kitab-Nya,
Artinya,
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa-apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hasyr, 59:18)
Ayat tersebut memerintahkan manusia untuk bermuhasabah di
setiap harinya dan di setiap apa yang telah dilakukannya, bukan malah menunggu
pelaksanaannya hingga penghujung tahun akan berakhir misalnya, terlebih dengan
berjama'ah pula. Imam Ibnu Katsir dalam mentafsir ayat tersebut mengatakan
bahwa Allah Ta'ala memerintahkan kepada setiap hamba-Nya untuk menghisab
diri-diri mereka sendiri sebelum hari penghisaban tiba, dan agar setiap diri
melihat apa-apa yang telah mereka tabung untuk diri-diri mereka kelak yaitu
berupa amalan sholih yang kelak akan dihadapkan kepada Rabb-Nya.
Sementara Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighosatul Lahfan min Masayyidis
Syaithon mengatakan bahwa seharusnya muhasabah itu dilakukan di dua
keadaan, yaitu pada saat sebelum beramal—dimana kita menghisab terlebih dulu
tentang amalan yang akan kita kerjakan itu; apakah bersumber dari keihklasan
semata-mata karena mengharap ridho-Nya dan apakah memang disyari'atkan
Allah Ta'ala melalui Rasul-Nya? Apabila telah memastikan dua kriteria ini
terpenuhi, maka barulah amalan yang dimaksud bisa diamalkan. Dan keadaan muhasabah
yang kedua adalah ketika sudah melakukan suatu amalan, yaitu dengan
mengintropeksi apakah pada amalan tersebut telah terjadi kekurangan atau
mungkin tidak dilakukan dengan kekhusyu'an hati. Beberapa hal inilah yang tidak
terpenuhi oleh kaum muslimin yang melakukan muhasabah berjama'ah khusus
pada perayaan tahun-baruan, mereka boleh saja mengatakan bahwa amalan tersebut
datang dari keikhlasan hati dan dengan niat yang baik, namun itu tidak
menghantarkan mereka kepada ridho-Nya karena syari'at tidak menitahkan
demikian. Pernahkah Rasulullah bersama para sahabatnya berkumpul untuk melakukan
amalan tersebut? Pernahkah para tabi'in dan sholafush-sholih pada
zamannya juga melaksanakannya? Bila ini tidak terpenuhi, ketahuilah bahwa hal
itu bukanlah muhasabah dan kaum muslimin belum bermuhasabah
dengan sebenar-benarnya. Sebab makna muhasabah yang sesungguhnya adalah
untuk meringankan hisab kita di hari kiamat kelak, sementara amalan yang
dibuat-buat seperti pada muhasabah massal perayaan tahun-baruan hanya
menambah berat buruknya hisab.
Tidaklah
seorang muslim beramal dalam keluasan hari-hari yang diberikan Allah Ta'ala
kepadanya, sementara hari-hari yang telah dimilikinya tidaklah mungkin
terulang, sedangkan amalan telah baku tercatat, apatah lagi hari esok belum
pasti menghampiri. Hasan al-Bashri rahimahullah pernah berkata, "Wahai
anak Adam, sesungguhnya kamu tidak lain hanyalah hidup beberapa hari saja;
setiap kali waktu berlalu, berarti hilanglah pula sebagian dirimu." (Siyar
A'lam an-Nurbala', 1/496)
Selayaknya
kaum muslimin meneladani Rasulullah dan para sahabatnya. Tolak beragam tipu-daya
setan yang mengikis akidah umat di event-event seperti ini dengan
bergerak mendakwahkan kebenaran dan mengajak umat untuk mengisi hari-harinya
dengan amalan-amalan yang disunnahkan Rasulullah. Janganlah kita mengikuti
perkara yang mungkin belum kita ketahui ilmunya, seperti firman-Nya,
Artinya,
"Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
semuanya itu akan diminta pertanggungan-jawabannya." (QS. al-Isra',
17:36)
Dia
juga berfirman,
Artinya,
"…dan janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu mereka (orang-orang fasik)
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…" (QS.
al-Ma'idah, 5:48)
Firman-Nya
pula,
Artinya,
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa-nafsu mereka dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling
(dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik." (QS. al-Ma'idah, 5:49)
Sementara Imam Ahmad pernah mengatakan bahwa tanpa ilmu,
manusia itu hidupnya seperti binatang. Dan janganlah juga kita asyik bermasyuk-diri
membiarkan diri tenggelam dalam kesesatan, sementara ilmu telah kita ketahui.
Khawatirlah bahwa bila Allah Ta'ala berkehendak, Dia akan biarkan hati kita
mengeras karena kita menafikkan kebenaran yang telah kita temukan tentang suatu
syari'at-Nya.
Selain itu ada pula sikap sebagian muslimin yang ikut-ikutan
merayakan tahun-baruan karena gengsi bila absen dari lingkungannya yang
telah terbiasa andil dalam perhelatan ini. Untuk alasan yang seperti ini,
waspadalah! Karena sikap tersebut bisa merupakan pertanda bahwa kita telah
terjerumus meladeni hawa-nafsu orang-orang fasik dan kafir yang senantiasa
berupaya menjauhkan seorang muslim dari syari'at dien-Nya. Waspadalah karena
Allah Ta'ala telah membuat peringatan ini bagi hamba-hamba-Nya yang beriman,
Artinya,
"Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu
syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya
(menyesatkan)." (QS. al-A'raf, 7:202)
Lalu
Allah Ta'ala juga mengabarkan keadaan apabila setan-setan itu telah menguasai
akan hati-hati seorang muslim, yaitu firman-Nya,
Artinya,
"Syaitan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat
Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan
syaitan itulah golongan yang merugi." (QS. al-Mujadalah, 58:19)
Mudah-mudahan
kita dihindari dari perbuatan golongan yang merugi tersebut.
4.
Perayaan Natal + perayaan tahun-baruan = perayaan kemusyrikan yang selalu
beriringan
Kedua perayaan ini tampak satu-padu dan saling mengisi
masing-masingnya. Setiap ucapan selamat Natal tersebut, maka senantiasa ucapan
selamat tahun-baru akan mengiringinya. Keduanya memang sama-sama memiliki
keharaman untuk turut dirayakan oleh umat muslim. Masing-masing mempunyai dalil
yang kuat, seperti hukum yang berkaitan dengan perayaan Natal, berikut beberapa
firman-Nya yang berkaitan dengan pengharaman Natal dan turut-sertanya seorang
muslim dalam Natal dan berbagai aktifitas yang bertujuan sebagai pengagungan
syi'ar-syi'anya:
a.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Sungguh telah kafir orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah itu
dialah Al-Masih putera Maryam." Padahal Al-Masih sendiri berkata,
"Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmua."
Sesungguhnya mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh Allah
mengharamkan surge baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang
penolongpun bagi orang zalim itu." (QS. al-Ma'idah, 5:72)
b.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Sungguh telah kafir orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah
satu dari yang tiga, padahal tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Tuhan Yang esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti
orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa azab yang pedih." (QS.
al-Ma'idah, 5:73)
c.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Dan mereka berkata, "(Allah) Yang Maha pengasih mempunyai anak.
Sungguh kamu telah membawa sesuatu yang sangat mungkar., hamper saja langit
pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh (karena ucapan itu), karena
menganggap (Allah) Yang Maha pengasih mempunyai anak." (QS. Maryam,
19:88-92)
d.
Allah Ta'ala berfirman,
Artinya,
"Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak
memerlukanmu dan Dioa tidak meridhoi kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu
bersyukur, Dia meridhoi kesyukuranmua itu. Seseorang yang berdosa tidak memikul
dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kembalimu, lalu Dia beritakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan. Sungguh, Dia Maha mengetahui apa yang tersimpan
dalam dada(mu)." (QS. az-Zumar, 39:7)
5.
Kemaksiatan dalam event tahun-baruan
Beberapa
kemaksiatan yang biasa terjadi dalam event tahun-baruan, diantaranya
yaitu:
a.
Ikhtilath, yaitu ketika berdua-duaannya seorang
ikhwan dan akhwat tanpa mahram dan juga tanpa kepentingan yang
disyari'atkan agama, misalnya dengan melakukan perjalanan dalam kegiatannya
merayakan tahun-baruan.
b.
Khalwat, yaitu bercampur-baurnya ikhwan
dan akhwat di satu tempat tanpa adanya batas-batas yang menghijabi
keduanya dan dalam keadaan yang bukan suatu kedaruratan dalam syari'at,
misalnya ketika berkumpul di tanah lapang atau pelataran yang dijadikan tempat
perayaan pesta tahun-baruan.
c.
Tabdzir, yaitu ketika kemampuan yang
dimiliki, baik berupa uang, kendaraan, kesehatan, atau waktu luang disalurkan
bukan kepada yang mendatangkan mashlahat, atau dijadikan fasilitas untuk
menunjang kegiatan yang diharamkan Islam, seperti tahun-baruan ini.
d.
Tasyabbuh syari'at kafir, yaitu dengan
mentransfer berbagai gaya hidup syari'at di luar Islam seperti perayaan
tahun-baruan untuk dibumikan menjadi adat kebiasaan pula dalam kehidupan
seorang muslim.
e.
Bid'ah, yaitu ketika mengupayakan sebuah
budaya non Islam seperti tahun-baruan ini untuk kemudian di'selisihkan' dengan
peribadahan lain yang dianggap lebih afdhol dan lebih bermanfaat.
f.
Pengkonsumsian hal-hal yang
diharamkan, seperti meminum minuman keras, membakar petasan dan kembang-api,
memperdengarkan musik, dan sebagainya.
Semoga kita bisa mengisi hidup yang diamanahkan Allah Ta'ala
ini dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan mengganti hari-hari kemarin
yang sempat ternoda kemaksiatan dengan rutinitas sunnah Rasul-Nya. Bersegeralah
berpaling dari golongan yang terancam dengan kerugian. Mari fahami sekali lagi
firman-Nya,
Artinya,
"…hendaklah setiap diri memperhatikan (mengintropeksi-diri) tentang
apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok dan bertakwalah.
Sesungguhnya Allah Maha tahu dengan apa yang kamu perbuat." (QS.
al-Hasyr, 59:18)